WAIT AND SEE (Part 1)

Semilir angin sore menerpa wajahku. Membayangkan matahari yang kian lama kian tenggelam. Mendengarkan suara burung-burung dilangit yang pulang ke sarangnya dan digantikan oleh kelelawar yang bertebaran bak bintang di angkasa. Namun, aku hanya bisa merasakan semilir angin yang makin lama makin menusuk kulit. Aku mengambil biolaku. Kuatur rapi jari-jari manisku diatas biola. Menarik napas sekejap, kemudian ku gesek sedikit biolaku. Terdengar suara biola yang menyayat hati. Suara biola yang menyayat pilu. Menggambarkan kegusaran hati. Senandung malam kunyanyikan di antara suara gesekan biola. Ku pejamkan mata dan bersenandung. Gelap. Sepi. Sendirian. Kubuka mata sambil memainkan biolaku. Gelap. Sepi. Tak terasa air mataku menetes perlahan. Kuhentikan senandungku dan kuletakkan biolaku. Menatap kosong ke depan dengan air mata yang mengalir deras. Kenapa hatiku lemah? Kenapa aku menangis? Aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat. Apapun yang terjadi, Tuhan memberikanku hidup pasti ada tujuannya. Entah apa tujuannya aku harus mencarinya. Tiba-tiba, ada yang menepuk bahuku dari belakang. Sontak aku segera berpaling dan memukul dengan tongkat biolaku.
Krak.. Aw..
Tongkat biolaku patah menjadi dua. Aku mendengar suara rintihan wanita. Aku langsung berteriak.
"Siapa kau!!!" kataku menggelegar sambil menodongkan tongkat biolaku yang sudah patah. Tiba-tiba ada yang memelukku. Terdengar suara tangis dan wanita itu berkata.
"Astaga anakku. Jangan pukul ibumu lagi nak. Ibu hanya menepuk bahumu dengan perlahan dan kau mematahkan tongkat biolamu lagi?"
Aku terdiam. Diam-diam kuusap bekas tangisanku di pipi. Masih terdiam menatap kosong sampai wanita tadi yang ternyata ibuku menggendongku masuk ke dalam rumah. Aku memberontak saat mau ditidurkan.
"Aku tidak mau tidur!!!" kataku membentak.
Aku berjalan perlahan sambil meraba dinding sampai akhirnya aku meraba sesuatu yang asing. Sesuatu yang hangat dan terasa seperti detak jantung. Aku menarik kain yang melapisinya dan berteriak.
"Siapa kau!!!"
Tiba-tiba aku merasa dipeluk dan dicium pipiku. Kemudian terdengar bisikan,
"Ayah sudah pulang sayang.."
Aku terkejut. Ayah. Itu ayah. Aku merangkul lehernya dengan erat. Menangis bahagia sambil mencium pipi ayah.
"Ayah, kenapa ayah pulang lama sekali? Aku sendirian di sini" ujarku masih memeluk leher ayah.
"Kan ada ibumu sayang.. "
"Dia itu ibu macam apa. Dia selalu meninggalkanku sendiri. Mengapa ayah menikahinya!!!" teriakku memotong perkataan ayah. Kudengar ayah berdehem dan berjalan entah kemana sambil masih menggendongku.
"Ehm.. Viona, setidaknya kau mengajak Clara bermain atau mendampinginya. Kemana saja kau sampai tidak memperhatikan anakku. Ingat Viona, anakku juga anakmu!" ujar Ayah sedikit membentak pada wanita itu.
Ibu kandungku sudah meninggal saat melahirkanku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dan tak akan bisa. Meski ada fotonya yang masih terpajang rapi di dinding, aku tetap tidak bisa melihat. Kau tahu, aku ini buta. Kata ayahku, wajahku manis seperti ibuku. Mataku indah berbinar, bibirku merah delima, dan memiliki suara bak malaikat jika aku menyanyi. Tapi aku tak bisa melihat bagaimana rupaku yang kata orang-orang cantik bak bidadari.
"Tapi mas, aku sudah mencoba mendekatinya. Aku sudah mencoba membujuk dan mengajaknya bermain. Malahan, aku yang pada akhirnya kena pukul tongkat biolanya. Lihat? Tongkat biolanya patah lagi" teriaknya kencang melebihi suara ayah.
"Bohong!!!" teriakku tak kalah kencang. "Dia selalu sibuk dengan kesehariannya. Sekedar bicara padaku saja dia tak mau, terserah ayah mau percaya siapa. Aku tak tahan lagi. Jika ayah tidak di rumah, aku selalu sendirian" teriakku sambil menangis kencang.
"Dasar anak kecil pembual!!!" teriak wanita itu.
Plak !!!.. Terdengar suara tamparan keras. Aku yakin, ayah pasti menampar wanita itu.
"Jangan membentak begitu pada anakku!! Aku menikahimu untuk menjaga anakku. Bukan untuk menghabiskan hartaku!!!" teriak ayah.
Ayah menggendongku dengan erat dan masuk ke dalam kamarku. Menutup pintu dengan kasar kemudian mendudukkanku dalam pangkuannya dan mencium pipiku.
"Clara sayang, maafkan ayah tidak bisa mencarikan ibu yang tepat untukmu. Ayah yang akan selalu menyayangimu. Kalau ada apa-apa bilang saja sama ayah ya. Tak usah pedulikan ibumu" ujar ayah lembut sambil mengelus kepalaku. Aku hanya bisa mengangguk dan menyandarkan kepalaku di dada ayah.
"Ayah akan tidur disini bersamamu. Jangan khawatir sayang"
"Iya ayah" ucapku polos sambil merangkul Ayah. Diam-diam aku tersenyum.
"Tepat seperti rencanaku" gumamku dalam hati.

(To be continued...)

Komentar