Yang Hanya Terlintas

Malam semakin gelap, tanpa hembusan napasmu, angin menyapu dinginnya kedua pipiku. Kesedihanku semakin dalam, tak ada satupun yang bisa menjadi pelipurku hingga saat ini. Rembulan yang melihatku kasihan terus saja menyinariku dengan redup, seolah-olah ikut merasakan apa yang sedang kurasakan saat ini.

Teriakan burung gagak yang melayang diatasku pun memberi tanda bahwa dirinya sedang menunggu diri ini rapuh dan mati terjembab dengan segala air mata yang kian tak terbendung.

Kita adalah judul pertama yang kubaca dalam lembaran hidupku, tapi selalu saja diakhiri dengan tanda titik seolah sudah tidak ada yang harus dibahas di lembar berikutnya.

Keluhanku tak pernah ada yang benar-benar mendengar. Seperti hidupku yang kian samar dan tak dikenal, aku masih saja terkantuk udara yang nakal masuk ke dalam lubang hidungku. Cintaku begitu sombong dan membara ketika berbincang hanya berdua denganmu membicarakan hal-hal yang tidak pernah aku tahu sebelumnya, cerita tentang belahan bumi lain yang membuat mata mudaku membesar dan bersinar.

Tujuan apa yang membawaku hingga kesini, berdua dengan dinginnya malam, bercumbu dengan hembusan angin yang memaksa masuk ke dalam tulang belulangku, hanya demi ingin bertemu denganmu. Sedangkan dirimu, saat ini masih saja bergumul mesra dengan perempuan yang kau anggap sebagai rumah, tempatmu berpulang. Sedangkan aku disini hanyalah pelabuhan, dimana kau bisa menambatkan hatimu dan melepasnya jika ingin berlabuh menjauh.

Dibawah redupnya bulan, diantara sepinya pelabuhan, aku akhiri demikian. Semoga kau tetap baik-baik saja dengan semua yang kau miliki sekarang. 

so, 11 Januari 2020.

Komentar