Aku, Luka, dan Sebuah Kejujuran yang Terlambat

Di suatu malam yang sunyi, suamiku akhirnya mengakui sebuah kebenaran yang selama ini ia sembunyikan. Sebuah kebenaran pahit yang tak pernah aku duga — bahwa ia menjalin komunikasi dengan seorang perempuan dari masa lalunya. Seorang perempuan yang, dulu, pernah menghancurkan hatiku… dan kini datang lagi, menghancurkan pernikahanku.

Yang lebih menyesakkan, ia tak hanya berbicara. Ia mengirimkan uang — dua juta rupiah — atas permintaan perempuan itu. Perempuan yang bahkan telah memiliki pasangan lain. Semua itu ia lakukan diam-diam, sembari berkata padaku bahwa ia lelah, ingin cepat pulang, ingin istirahat. Padahal aku, istrinya, tengah hamil dan menantinya di tanah perantauan. Ia memilih menghindar dari tanggung jawabnya sebagai suami, sebagai calon ayah, sebagai lelaki yang dulu aku percaya.

Setelah semua terbongkar, aku gemetar. Hatiku koyak. Aku menangis seharian, kehilangan arah, tidak bisa fokus bekerja. Rasanya seperti seluruh harga diriku diinjak-injak. Bukan hanya karena uang, bukan hanya karena kebohongan — tapi karena laki-laki yang aku banggakan ternyata mampu serendah itu merendahkan dirinya sendiri… dan meremukkan hatiku sekaligus.

Aku menuntut keadilan. Bukan dari hukum, tapi dari nuraninya. Aku minta hakku, aku minta dihargai. Aku minta dua juta rupiah yang ia berikan ke perempuan itu. Bukan karena aku butuh uangnya, tapi karena aku ingin dia tahu: aku juga manusia. Istri yang sedang mengandung anaknya. Aku ingin harga diriku dikembalikan.

Dan di tengah amarah dan luka itu, aku minta maaf…
Bukan pada dia. Tapi pada anak dalam kandunganku. Aku peluk perutku, dan aku bisikkan, “Maaf, Nak… Maaf kalau ibu memilih ayah yang tak mampu menjagamu dari awal.”

Aku tak bisa menceritakan ini pada siapa pun. Sampai akhirnya aku menyampaikan semuanya ke bapak dan mama mertua. Mereka menangis, mereka meminta maaf padaku — bukan karena mereka bersalah, tapi karena mereka pun tahu bahwa aku sedang menanggung luka yang terlalu berat untuk dipikul sendiri. Sampai hari ini, mereka yang paling sering mengingatkanku untuk makan, istirahat, dan jaga kesehatan. Bukan suamiku.

Aku masih takut. Takut anak ini tumbuh dan melihat ayahnya dengan segala luka yang tak pernah sembuh. Takut dia mengira itu adalah bentuk cinta. Takut dia tumbuh dalam kebohongan seperti yang aku alami. Tapi aku tahu, satu hal: aku akan melindunginya dengan segala kekuatan yang tersisa.

Hari ini, aku menulis ini bukan untuk membuka aib. Tapi untuk menyembuhkan diriku sendiri. Karena aku ingin berhenti diam. Karena aku percaya, setiap perempuan punya hak untuk berkata: “Aku sakit. Dan aku pantas didengar.”

Untuk para perempuan yang mungkin mengalami hal serupa: kamu gak sendiri. Luka kita mungkin berbeda, tapi air mata kita serupa. Dan aku tahu, kita bisa bangkit… bersama.

Dibalik kamar aku menangis, 1 Juli 2025

Komentar