16-17 Agustusku di Bangkalan

Sabtu, 15 Agustus 2020
Kala waktu itu golongan muda dan golongan tua riweuh dan terjadilah peristiwa Rengasdengklok, aku sendiri sedang menghadapi jati diri.

Ternyata aku masih jadi mahasiswa hukum, belum rampung, sedang ilmu dan pengetahuanku sedikit demi sedikit mulai menguap, karena terbentur dengan ketidaksinkronan kerjaanku.

Pagi itu ada pembekalan Praktik Pengadilan Agama (PPA), dan tentunya secara virtual. Pun nanti dengan praktiknya juga daring, hanya menganalisis putusan, engga ada beda sama skripsi. Engga ada beda sama tugas harian. Engga ada bedanya.

Tapi disamping itu aku jadi makin leluasa ngurusin kerjaanku.

Pembekalan nyatanya engga seperti yang aku bayangkan. Sama kayak, ada reuni pada tetua, dan yang muda hanya nyimak mencoba memahami yang mereka katakan. Tentu saja karena menunggu form daftar hadir.

Setelah mengisi form, satu persatu mahasiswa fakultas syariah dan hukum angkatan 2017 langsung meninggalkan ruang meeting. Hanya sekitar 20% yang mengikuti hingga akhir.

Minggu, 16 Agustus 2020
Subuh itu temanku ribut di sebuah ruang obrolan bersama. Aku mengucek mataku perlahan dan mengecek ponselku yang penuh dengan pesan. Temanku pada ingin jalan-jalan, pun aku juga.

Akhirnya kita coba susun tanggal 22-23 Agustus untuk mengosongkan jadwal. Nyatanya, hari itu juga, kita berangkat.

Teman-teman bilangnya kumpul di pintu masuk Suramadu jam 4 sore.

Aku sudah bersiap ke rumah Ajmik sekitar jam setengah 4 sore. Aku dan Ajmik bertemu Prakas di jalan dan menunggu kedatangan Jeni serta Pii.

Hingga maghrib tiba, kita engga ketemu mereka. Akhirnya sholat maghriblah kita di Masjid. Masih di daerah Surabaya.

Setelah sholat, ponselku bergetar. Jeni dan Pii ternyata sudah sampai di Madura. Bergegaslah kita menyusul.

Ketika Sayuti Melik sedang menyeduh kopi untuknya bergadang mengetik naskah proklamasi, kita membelah malam dengan gemerlapnya bintang-gemintang.

Sekitar 30 menit kemudian, kita sampai di ujung jembatan dan bertemu Pii serta Jeni sedang minum dan makan cemilan.

Saat itu juga, kita langsung menuju rumah prakas yang engga pernah dihuni selama lebih dari 20 tahun. Unboxing sekalian, ceritanya.

Adzan Isya' berkumandang, kami sudah sampai tapi Prakas malah ketinggalan. Setelah menunggu 10 menit, Prakas datang dan langsung membuka gerbang dan pintu rumahnya.

Malam itu Sayuti Melik kebingungan dengan beberapa coretan Bung Karno, sedang kita kebingungan dengan teknik menyeduh teh dandang.

Malam itu naskah sudah selesai diketik, disimpan rapi. Bendera merah putih yang dijahit Bu Fatima juga sudah siap. Kami pun selesai makan malam, dan bercengkerama hingga larut malam di teras rumah bercerita nabi-nabi dan mempertanyakan kehidupan ditemani kerupuk singkong rasa bawang putih dan teh hangat.

Senin, 17 Agustus 2020
Jam 3 pagi, samar-samar telingaku menangkap suara takbiran. Apakah aku bermimpi? Atau kembali ke masa lalu? Engga se klisye itu bambang.

Alarm Ajmik berbunyi, menggaungkan lagu Wali dengan volume maksimal. Karena kesal, Pii mencoba mencari ponsel Ajmik dan mematikannya.

Sepuluh menit kemudian, Alarm Ajmik berbunyi, sekarang beda lagi nadanya. Lagu tiktok gagak yang berteriak membuat pala terasa pening dan ingin berjoget.

Sepuluh menit kemudian, Alarm Ajmik berbunyi lagi, kini lagu tiktok gagak tadi bernyanyi dengan kecepatan dua kali. Pii jengkel dan mematikan alarm itu.

Sepuluh menit kemudian, Alarm Ajmik berbunyi lagi--

Sepuluh menit kemudian--

Sepuluh menit--

Karena kesal, aku langsung keluar kamar dan mencari ponselku yang semalam aku isi baterainya. Alarm di ponselku ternyata berbunyi juga. Kulihat Prakas yang tak tahan karena AC kamar yang dingin, pindah ke ruang tengah, meringkuk diantara bantal sofa.

Aku mengambil air wudhu untuk segera sholat subuh, Jeni mengikutiku dan minta untuk ditemani ke belakang. Ajmik dan Pii masih dalam mimpinya.

Tak lama Prakas juga mengantri toilet.

Kita bertiga jamaah sholat subuh. Ajmik mandi, Pii mabar.

Setelah itu kita membuat makanan. Yap seperti diklat pada umumnya, menu nasi, mie goreng, dan telur sudah jadi andalan sarapan kami.

Aku bagian cuci piring, Prakas dan Jeni bersih-bersih halaman belakang.

Pii dan Ajmik masih cari walet.

Sekitar jam 10, kami uda pada capek dan beristirahat di kamar.

Aku ingin mandi, tapi engga ada odol. Prakas dan Ajmik pun beli dan pulang sekalian beli buah plus petis madura.

Setelah semuanya mandi, kami rujakan di ruang tamu. 

Dan bersiap ke Mercusuar Willem III di Bangkalan.

anyink panas cuy!
Setelah sesi poto-poto dan bebacot ria, kami pun ke Museum Cokro. Tapi tutup, akhirnya kita foto-foto aja. 
Semenit setelah itu, aku dan Ajmik tertangkap polisi karena tidak pakai helm. Sedekahlah kami seratus ribu dan melanjutkan perjalanan ke Bukit Jedddih.

Engga banyak yang bisa dilihat di sini. Rasanya uda mangkrak gitu. Tapi aku lebih suka sensasi adrenalin naik bukit kapur sih. Sempet mau jatuh juga haha.

Aku coba nyetir, Ajmik jadi penumpang. Prakas sudah jalan ke atas. Akhirnya kami bertiga yang mampu buat nanjak ke atas. Jeni takut, jadi dia sama Pii ke Goa Pute.

Di atas bukit, kami bertemu bapak-bapak traveller dan ternyata beliau juga dari Sidoarjo, bapak itupun memfotokan kami bertiga. Ajmik pun memfotokan beliau semua.

Setelah itu kami diajak bapak itu buat nanjak lagi ke atas. Tapi kami mau nyusul Jeni di bawah. Akhirnya kami berpamitan buat turun, sedang bapak-bapak itu ke atas.

Masuk ke sini ternyata bayar, 5 ribu per orang. Di bawah, aku lumayan excited dengan arena gladiator yang sama kayak di Roma. Romanya Madura.

Ternyata itu bukan arena, tapi sebenarnya itu ada airnya buat wahana air. Sayang airnya sudah surut dan terkesan mangkrak, jarang banget orang jualan juga.

Jam menunjuk pukul 2 siang dan kita belum sholat dhuhur, pulanglah akhirnya tak lupa mampir dulu untuk beli bahan buat bikin cemilan, yaa cilok, yaa tahu crispy, yaa kerupuks.

Sore hari pas mau pulang, teman-teman utamanya para supir lagi capek dan ngantuk, akhirnya aku beli petis buat ibuku dulu sama Prakas. Yang lain lagi rebahan.

Sekitar jam 5 sore kami pun berpamitan ke Prakas, pulang ke Sidoarjo.

Jembatan Suramadu waktu kami pulang ramai. Maklum juga besok hari aktif kerja.

Jam setengah 8 akhirnya sampai di rumahnya Ajmik. Dan aku ngebut ke rumah, jam 8 aku dah sampai.

Ayah melihatku dengan tatapan tajam, "Nang Meduro ya?"

"Hooh, nih", ucapku sambil menyodorkan petis madura kesukaan ibu. "Kok ero?"

"Status WAmu engga kok sembunyikan teko ayah, yo ero lah", ucap ayah enteng.

:v 

Aku ijinnya ke rumah Ajmik. Yaa emang benar kan? 
Apa aku berbohong?

:v

Sore itu bendera sudah di turunkan, beberapa negara sudah menerima kemerdekaan, sebagian yang lain belum. Belanda pun tak mau mengakui pada waktu itu hingga tahun 2005.

Tapi 75 tahun sudah berlalu, luka lama tak seharusnya digali. Tapi luka itu yang selalu mengiringi, bahwa kita tak boleh menyia-nyiakan darah, keringat, dan air mata pejuang kita.

Dirgahayu Indonesiaku, semoga pembangunanmu semakin maju.

Akhirnya selesai sudah acara jalan-jalan dadakan. Semoga ada part selanjutnya, menunggu Zahir ke Surabaya. -ص


Komentar