MENYEDIHKAN

Malam kemarin tanggal 3 Maret 2017, aku bermimpi. Mimpi yang benar-benar diluar dugaanku. Aku bingung dan merasa bersalah.

Setiap saat selalu terpikirkan. Dimanapun, kapanpun, saat apapun. Aku tidak fokus belajar, aku tidak bisa berpikir apapun, aku takut tidur dan memimpikan hal yang sama.

Dia.

Bangun tidur sore hari Sabtu, 4 Maret 2017. Tidak aku sangka mimpi itu kembali. Hei! aku tidak salah kan? Kumohon hentikan mimpi itu. Itu membuatku berpikir apa mungkin aku yang benar-benar salah dan aku yang benar-benar menyakiti. Malamnya, aku termenung didepan kaca, ingin bercerita tapi tak jadi. Aku akhirnya bisa bercanda lagi dengan Arun.

Arun tidak banyak meresponku. Kami hanya bercanda selayaknya teman. Ketika aku menggodanya, dia sepertinya risih. Baiklah, aku mulai memikirkan apakah malam itu aku bermimpi lagi. Malam itu, aku takut tidur.

Jam 06.00 WIB tanggal 5 Maret 2017, God! Aku bermimpi lagi. Kali ini mimpi yang benar-benar seperti nyata. Aku bermimpi temannya Dia. Waktu itu ada acara, kelasnya Dia membuat stand bazar yang berada di pojok dekat dengan pintu keluar. Aku berjalan dan teman-temannya membuat candaan yang keterlaluan. Aku tidak melihat Dia tapi aku tahu Dia ada disitu. Melihatku yang mulai risih dengan hal-hal disekitar.

Jam 9.00 WIB, aku mencoba mengirim pesan ke Arun, berharap dia bertanya kenapa tapi sampai saat ini dia belum merespon. Waktu itu aku sedang les Matematika, memikirkan aljabar, sin cos tan yang menyiksa, Dia tiba-tiba muncul dibenak dan pikiranku. Tidak! Aku harus menghalaunya. Tapi, ingatan dia makin kuat dipikiran. Aku termenung sebentar dan Guruku mengagetiku. Lamunanku selesai.

Siang itu aku takut tidur dan bermimpi. Aku hanya tidur santai didepan televisi yang menyala. Tidak aku dengarkan, aku hanya melihatnya. Ada apa aku ini?

Aku berpikir, menimbang, apa aku harus yang pertama mengirimkan pesan maaf untuk Dia. Agar aku tidak lagi berpikir atau melamun tentangnya.

Aku dan dia pun sebenarnya tidak ada apa-apa. Tapi di sekolah, menjadi orang nomor satu yang harus aku jauhi. Jangan tanya aku kenapa, karena aku juga tidak tahu.

Dulu 300 menit itu berharga. Seharga nyawa yang masih selamat sampai sekarang, Dia mengemudi dengan gila. Dan itu satu-satunya hal yang tidak aku suka darinya. Yang membuatku berkata tidak pada Dia.

Aku sabar saja.

Setelah itu, kami tidak saling berkata lagi.

Siapa yang salah?

Komentar