maafkan aku gemini, aku terlalu patah karena taurus
Selamat malam,
Ada banyak yang harus kukatakan
padamu. Tapi aku tak bisa mengatakannya secara langsung. Tak akan ada kata-kata
yang keluar dari mulutku jika harus bercerita tentang semua yang menari di
kepala.
Maafkan aku beberapa waktu yang
lalu, aku yang menghubungimu duluan.
Kala itu aku bingung harus
menghubungi siapa. Dan entah kenapa, yang hadir dalam pikirku hanya dirimu.
Kala itu aku juga sedang gusar.
Banyak hal yang terjadi dalam hidupku yang hina ini.
Aku butuh teman untuk bercerita,
tapi aku tidak tahu siapa yang harus aku hubungi.
Kala itu aku menelponmu, kau
angkat sebentar dan berkata sedang ada meeting dan berjanji untuk menelponku
lagi jika kau selesai dengan urusanmu. Benar saja, kau menelponku lagi, tapi
aku saat itu sedang menangis sendiri. Tdak mampu mengangkat ponselku yang
berdering lama.
Besok paginya aku meminta maaf
karena tertidur. Padahal saat itu aku tidak bisa tidur hingga subuh menjelang.
Percakapan kita, dimulai dari
itu.
Kau mengajakku pergi jika ada
yang mau diceritakan. Aku mengiyakan. Tapi sejujurnya waktu itu aku hanya
merasa kesepian. Tak ada teman untuk kuajak bercanda, taada teman yang bisa
kupercaya untuk meluapkan cerita. Aku yang datang padamu, adalah aku yang tak
mempunyai apa-apa. Aku yang datang kepadamu saat itu, adalah aku yang telah
kehilangan segalanya.
Kau menemuiku di tempat yang aku
pilih. Kau duluan datang memakai jaket biru yang mungkin kau banggakan
sekali. Sejujurnya, aku tidak suka. Ekspektasiku terhadapmu tidak ada, jadi aku menganggapmu biasa saja. Tidak ada hal yang menarik.
Tempat itu ramai, berebut meja pun akhirnya kulakukan, sedang kau memesan makanan. Kau
pesan mi level 0 dan es buah, sedang aku mi level 2 dengan dimsum
udang keju beserta es buah. Saat itu, kau yang berniat untuk membayar,
sejujurnya aku ingin split bill karena aku takut itu menjadi hutang.
Aku suka bercerita, meski topik
yang kau bawa waktu itu tidak menarik sama sekali. Apalagi malam menjelang
larut, sudah jam 8 malam, dan kau mengajakku untuk pulang. Kita saat itu
membawa kendaraan masing-masing, melaju diantara gelapnya malam, kau tidak
pernah ada di angan-angan, tapi beban di pikiranku seakan ringan.
Pertemuan kedua ketika aku
mengajakmu ke kebun binatang. Kau tertawa, tapi tetap mengiyakannya. Aku saat
itu malas sekali untuk pergi, tapi akhirnya aku iyakan jam 11 siang, aku
menunggu di indomaret depan rumah untuk kau jemput.
Lama sekali saat itu, hampir
seharian dan pulang waktu maghrib. Saat aku bersamamu, temanku ingin juga bertemu
ingin bercerita tentang sesuatu. Hingga akhirnya maghrib berkumandang, aku
sudah ada di rumah, dan kau masih sholat di masjid ntah berada dimana.
Masih ingat saat aku mengirimkan
foto bersama temanku malam-malam, foto itu diambil bukan pada saat itu. Aku
beristirahat di rumah, ditemani kucing-kucing yang sudah lama menjadi pengganti
anak bagi orangtuaku.
Hari besoknya aku akhirnya
bertemu dengan temanku. Banyak hal yang kami ceritakan, terutama tentang
masalah yang saat itu aku hadapi. Yang membuat pikiranku makin kalut lagi.
Pertemuan ketiga. Jarang sekali
aku dekat dengan seseorang hingga pertemuan ketiga. Entah karena memang tidak
tertarik, terlihat redflag, atau memang aku bosan dengan semua sikapnya. Tapi
kala itu, kau mengajakku menonton film yang ingin kulihat juga. Tapi aku
sebenarnya tidak berniat untuk menontonnya di bioskop, karena biasanya film
seperti itu aku tonton dirumah dengan kantong chitato rasa sapi panggang yang
menemani di setiap detiknya.
Tapi entah kenapa akhirnya aku
membeli tiket film itu sebanyak 2 buah lewat mtix.
Pulang dari menonton, makan
malamlah kita di tempat makan favoritku waktu SMA. Tapi aku tidak bisa makan nasi jika waktu
terlampau malam, aku berkata ingin makan mi dan dimsum yang ada diseberang,
kamu menawariku untuk pindah kesana. Tapi aku menolaknya, sudah terlalu malam.
Pesananmu nasi ayam biasa, sedang
aku pesan mi yang tidak pedas karena waktu itu menu-menu yang terpampang di
dinding mulai habis. Kau mengeluarkan uangmu untuk membayarnya.
Setelah sampai rumah. Aku berkata
pada diri sendiri. Aku tidak akan mengiyakan ajakanmu pergi. Batasku hanya di
pertemuan ketiga, karena aku sudah mulai lelah dan aku meragukanmu sekali.
Kamu mengajakku kesana, kemari.
Aku mengiyakan tapi tak ingin berangkat. Malas sekali rasanya beranjak dari tempat
tidur yang menemaniku bertahun-tahun lamanya.
Hingga entah kenapa di pertemuan
keempat ini aku mengiyakan. Mungkin aku memang sedang merasa kesepian. Disaat
teman-teman lain punya teman untuk diajak jalan-jalan atau makan, aku hanya
bisa mengajak diriku sendiri makan. Bahkan adekku yang biasa telfon, sudah
jarang mengangkat panggilanku.
Aku pulang ke rumah menggunakan kereta lokal yang biasa aku naiki, kau sudah berada di masjid dekat
stasiun. Aku bilang padamu untuk menjemput pukul 18.30 WIB. Aku sedang
menguatkan diri, apa memang aku harus pergi denganmu atau aku telfon saja
ayahku.
Hingga akhirnya kau lama tidak
membalas pesanku. Kesalku mengudara, sempat air mata jatuh karena menunggu
terlalu lama. Hingga akhirnya adzan isya berkumandang dan aku memberanikan diri
keluar dari stasiun, entah jika kau belum berada disana, aku akan telfon ayahku
sesegera mungkin. Nyatanya kau ada disana, bersembunyi diantara dedaunan pohon
dengan sedikit batuk.
Kau menguatkan diri, padahal
masih sakit.
Tidak banyak kata-kata yang
keluar dari mulutmu saat dijalan. Kau masih saja bertanya kemana padahal
beberapa hari lalu kau mengajakku ke bazar alun-alun. Dengan kesal aku memukul
punggungmu pelan. Memarahimu tipis dan kau melaju diantara gelapnya malam.
kau mengajakku untuk makan malam,
aku bilang ingin makan rawon. Dan saat kita makan berdua, kau tak banyak
berbicara. Sepertinya kita sama-sama kesal. Entah karena apa.
Hingga akhirnya dengan cepat kita
ke alun-alun, berputar-putar membeli jajanan dan aku sibuk melihat perintilan.
Aku mengamatimu. Kau biarkan aku membayar barang-barangku. Kau membiarkan aku
dalam kemandirianku. Kau membiarkanku berjalan sendiri menikmati keramaian
malam itu.
Aku mengakui kehadiranmu adalah wujud
dari kesepian yang bersemayam dalam hatiku.
Maafkan aku, aku masih
meragukanmu. Membayangkan hal-hal indah bersamamu saja aku tak mampu. Aku tak
ingin, aku takut.
Aku tidak akan bisa mencintaimu
sebagaimana aku mencintai cinta pertamaku.
Terakhir kalinya, aku meminta
maaf sedalam samudra.
With Condolences,
Soo.
Komentar
Posting Komentar
bertanya atau mengungkapkan?