Sepi

Ada di satu hari dimana aku membenci ayahku sendiri. Diantara kata-kata kesal ibu yang mengudara, rumah yang terlalu hampa, serta saudara lelakiku yang tak pernah peduli ada apa.

Dan kemudian aku akan menangis di bilik kamarku sambil menonaktifkan ponselku.

Akhir-akhir ini ayahku keterlaluan. Pergi tak pernah kutahu, pulang saat aku tertidur lelap. Jarang berada di rumah, bahkan malam minggu yang menjadi ajang kebersamaan sekalipun.

Padahal ayah pernah berkomitmen, sabtu minggu adalah hari keluarga. Setidaknya meskipun tidak berlibur, sekeluarga bisa makan malam bersama sambil bercanda.

Sudah 3 atau 4 malam minggu yang sudah terlewat ya?

Aku hanya menghabiskan waktu dengan ibuku. Bahkan adikku tak pernah peduli apa yang aku dan ibuku lakukan. 

Aku mengantar ibu ke kuburan leluhur, atau beli makanan yang diinginkan semisal kikil atau mi ayam, atau nasi goreng cak Niken. Atau terkadang aku mengantarkan ibuku beli pulsa listrik, atau bahan makanan.

Ibuku tanpaku mungkin dalam kesendirian. Karena aku sekarang ini juga menjalani dua kehidupan. Di kos dan juga di rumah.

Bahkan malam ini aku sempat bilang ke ibuku, kalau malam minggu seperti ini terus, aku malas pulang ke rumah dalam keadaan sepi.

Untuk apa juga aku di rumah jika disana terdapat banyak kesepian juga.

Hidupku bahkan terlalu sepi. Dan aku mulai depresi lagi.

Seakan dunia dengan mudah ingin meninggalkanku atau membiarkanku terisolasi dengan kesendirian dan kesepian seperti ini.

Tertawa sendiri,

Menangis sendiri,

Melamun sendiri,

dan akhirnya mati sendiri.

[7 Maret 2020, malam minggu penuh sepi]

Komentar