IKHLAS TANPA TAPI


secarik sampah dimalam kelabu, so.

---------
PART 1
---------

Malam itu termasuk malam yang panjang bagiku. Angin yang berhembus mesra membekukan otak yang sedari tadi menunggu. Rasa penat berkepanjangan kemarin sore menggerogoti setiap inci tubuhku. Alunan musik yang sendu mendayu-dayu menanti demi satu hal yang tak ku peduli, dia.

Kata-kata yang sedari tadi ada di kepala tidak serta merta keluar dari lidah kakuku. Bibir-bibir beku diantara malam syahdu membuatku ingin beranjak, tapi tak bisa ketika aku menatap tepat kedua bola mata indah itu.

Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak di ikhlaskan, katanya dalam secarik kertas.

---------

“Sudah kuduga, Ana. Jika dia memperhatikanku setiap harinya,..”

“Bukan berarti dia menaruh hati padamu, dear

Kring… Krincing… Kring…
Gemerincing lonceng andong membawaku dan teman sepermainanku menuju ke tempat tujuanku. Tanganku membawa tas besar berisi perlengkapan hidupku. Setiap saat, ku menatap layar ponselku berharap ada yang menghubungiku. Aku mengernyit. Tidak ada pesan atau panggilan yang masuk.

“Ana, kita berhenti disini ya”, ujar Ayra, teman yang setia menemaniku dimanapun. Aku hanya bisa mengangguk pelan sambil tetap menatap ke depan.

Angin sore berhembus sedikit, botol air yang ada ditanganku untuk mengusir haus pun mulai habis. Tiba-tiba bunyi tapak kaki kuda yang kunaiki berhenti. Aku pun bangkit dari tempat duduk dan membayar ke Pak kusir, kemudian meninggalkan andong itu. Kubawa tasku menuruni andong, menapaki jalanan yang bising dengan penjual yang menjajakan dagangannya. Langkahku terhenti ketika ada yang menepuk bahuku.

Dia tinggi, matanya indah, berkumis tipis, memakai kaos oblong berwarna merah dengan tas selempang yang melingkari bahu dan pinggangnya. Aku yang tanpa sadar mengamatinya lama melihat dia mengangkat tangan menyapa dan tersenyum.

“Ana!”, bisik Ayra histeris sambil menggoncang bahuku pelan.

Aku menggeleng, “Astaghfirullah. What I’ve done

“Assalamualaikum”, suaranya masih tetap menggerogoti hatiku, senyumnya masih tetap meruntuhkan batinku, aku hanya bisa ber-istighfar pada diri sendiri.

“Waalaikumsalam”, jawab Ayra sementara aku lebih memilih beranjak untuk membeli minum lagi.

Ayra menahan langkahku, “Aku mau pergi dulu, bye”, ucapnya sebelum dia menaiki bus menuju kampung halamannya, meninggalkan aku sendiri dengan lelaki berkaos merah oblong.

Aku mengangkat botol minumku yang kosong, tanda aku harus membeli air minum. Tapi kemudian lelaki berkaos merah oblong itu menyodorkan botol air minumnya yang masih bersegel padaku. “Minum saja ini, Ana”

Aku kembali duduk dikursiku. Dia meraih tanganku dan memberikan segelas botol air minum kemudian duduk di sebelahku sambil tetap menatap wajahku. Aku hanya bisa merunduk.

“Jadi?”

“Jadi apa?”

“Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong!”, ujarku lantang sampai bibir dan tanganku gemetar.

Dia berdehem pelan, “Perihal basi, jangan dimasukkan ke hati”

Aku menggeleng, “Stop! Jangan diteruskan”

“Apa warnamu hari ini, Ana?”

Aku menggeleng, hampir menangis diantara berisiknya terminal dengan segala kesibukannya. Bagaimana saat pertama dan terakhir, dia memberi kesan yang sama.

“Oke baiklah. Aku juga tidak ingin ini berlarut-larut. Kita sudah sama-sama dewasa. Apa yang telah lalu biarlah berlalu”, tegasku sambil membuka botol air minum dan menenggaknya pelan.

“Ana”

“Apa Riki?”

“Rindu kita terpisah jarak. Tak apa, selama masing-masing mengingat”

“Stop Riki. Kumohon”

Dia berhenti menatap dan menghujamiku dengan kata-kata bodohnya. Kita sudah berbeda, bagaimana aku yang dulu suka kata-kata sampah seperti ini. Bagaimana aku yang sekarang sadar bahwa kata-kata bukanlah hal yang manis untuk dibahas.

“Aku harap kau selalu sehat”

Jam dinding menunjukkan pukul dua belas siang. Langit dengan sombongnya tidak ingin dilihat mata-mata hina manusia. Hawa panas merasuk, mengoyak hati, mendidihkan otakku tanpa ampun. Bahkan untuk sekedar menatap tubuhnya, aku tidak sanggup. Aku masih menyayanginya, sebenarnya.

“Terima kasih, maafkan aku”

“Tidak apa-apa. Semoga kita bisa bertemu lagi, Ana. Secepatnya”, ujar Riki sambil menenteng koper masuk ke dalam bus tujuan akhir Ponorogo.

I hope so”, batinku dalam hati.

(tbc, maybe)

Komentar