8.8

Saya akui, saya pernah suka dengan dia selama sembilan tahun. Dia, teman SD saya, teman sekelas saya, teman sebangku saya. Saya tidak menyadari bahwasanya saya sudah terlalu cinta, namun tetap saja takut untuk berhadapan dengannya.

Kami berteman di segala media sosial, tapi tak pernah sekalipun kami menyapa. Ada banyak kesempatan untuk menyapa secara langsung, tapi saya selalu mendapat timing yang tidak tepat.

Dan akhirnya, dialah lelaki yang saya sukai hingga saat ini.

Saya termasuk orang yang hiper, saya tidak sungkan untuk bertemu siapapun, namun untuk dia, saya selalu berpikir dua kali. Meskipun hal ini mudah, bahkan terlalu mudah bagi saya mendapatkan kesempatan. Tapi dengan bodohnya, saya selalu membiarkan kesempatan itu sambil berdoa mungkin ada kesempatan yang lain.

Saya akui saya bodoh.

Dalam beberapa tahun ini, saya tahu dia sudah berkali-kali berganti kasih, saya pun juga. Tapi tidak bisa saya pungkiri bahwasanya hati saya masih tetap untuknya. Saya sangat menyayanginya.

Dari hal itu pula mengapa saya ketika menjalani hubungan selalu tidak bertahan lama, saya tidak terlalu menikmatinya. Dipikiran saya hanya ada dia, dan dia, serta dia.

Tapi dia, adalah bintang yang bersinar jauh dari saya, yang hanya dapat saya lihat kilaunya dari kejauhan sambil tersenyum riang.

Syukurlah dia tertawa.

Syukurlah dia bahagia.

Tertawanya dia adalah bahagia bagi saya.

--
Saya dulu waktu SD sempat ditanyai dengan senyuman manis dan kelihatan gigi gingsulnya, "lapo ga gae krudung sing dowo?"

Alasan saya saat itu, "enak ae ringkes"

Dan kemudian saya tahu maksudnya.

Saya mencoba mengulurkan kerudung saya, tapi tidak seberapa, hanya semata-mata menutupi dada saya.

---

Saya mungkin merasa minder juga.

Rasanya untuk menyapanya saja, saya agak takut, dia tidak suka pada saya.

Sedih saya dibuatnya.

Tapi saya tetap bangga menjadi pengagumnya. Saya tidak apa-apa jika melihat dia tidak apa-apa. Saya bahagia jika melihat dia bahagia.

Karena dialah yang selalu menjadi bintang di hati saya.

ص-فرد✨

Komentar